Senin, 26 Oktober 2015

PERMA dalam Psikologi Positif, Apaan tuh?

Kayaknya emang jarang ada yang tahu tentang PERMA ini. Hati-hati kalau menyebutnya ya! Nanti orang non psikologis bisa salah dengar.

PERMA merupakan rumusan kesejahteraan yang dibuat oleh Martin Seligman--seorang psikolog yang bergerak dalam aliran yang Ia buat sendiri.

Psikologi Positif merupakan bagian dari Psikologi Klinis, karena tumbuh dan berkembang bersama Psikologi Klinis. Lalu apa kepanjangannya ya?

PERMA
Positive Emotion
Bagian esensial pada well-being individu. Seseorang yang bahagia, melihat masa lalu  sebagai kegembiraan, melihat masa depan sebagai harapan dan mereka enjoy dan sangat penuh harap.
Engagement
Ketika individu fokus melakukan sesuatu dan  benar-benar menikmat, individu tersebut mulai mengikat secara penuh dengan kejadian yang dilakukan sekarang dan membiarkan mengalir apa yang terjadi ‘saat ini’.
Positive Relationship
Setiap orang membutuhkan seseorang lainnya. Individu meningkatkan well-being-nya dengan berbagi dengan orang lain melalui hubungan yang kuat—keluarga, teman, tetangga.
Meaning
Kita yang terbaik adalah ketika kita mendedikasikan diri waktu kita untuk melakukan sesuatu yang lebih besar dari yang kita miliki. Hal ini mungkin terkait dengan religiusitas pada agama, komunitas kerja, keluarga, politik, acara social.
Complishment

Terkadang setiap orang membutuhkan kemenangan. Untuk mencapai well-being dan kebahagian, kita harus bisa melihat ke belakang kehidupan kita dengan perasaan Berprestasi: “Aku melakukkannya” & “Aku melakukannya dengan baik. (I did & I did well).

Apakah Inteligensi itu IQ?

Inteligensi dapat diartikan sebagai kemampuan psikofisik untuk mereaksikan rangsangan atau menyesuaikan diri dengan lingkungan dengan cara yang tepat (Reber, 1988), Sehingga dalam bukunya, Syah berpendapat bahwa inteligensi juga mencakup kualitas organ-organ tubuh, tidak hanya persoalan kualitas otak saja. Meskipun harus diakui bahwa peran otak sebagai pengontrol aktivitas manusia membuatnya lebih menonjol dibandingkan faktor fisik lainnya.
Tingkat kecerdasan siswa sejalan dengan seberapa besar peluangnya meraih sukses. Makin tinggi IQ seorang siswa maka makin tinggi pula peluangnya sukses dalam pembelajaran. Namun tetap diperlukan perlakuan yang tepat bagisetiap anak, baik yang IQ-nya ditingkatan rata-rata, gifted/talented child (IQ >140), borderline, maupun anak-anak superior.
Diantara anak-anak yang berintelegensi normal ini, nantinya akan muncul satu atau dua anak yang tergolong gifted child atau talented child yaitu anak-anak sangat cerdas dan sangat berbakat yang memiliki IQ lebih dari 140. Mungkin juga akan muncul pula anak-anak yang memiliki IQ dibawah rata-rata (IQ 70 ke bawah).
Situasi seperti ini akan menuntut calon guru dan guru profesional untuk memberikan perlakuan yang berbeda sesuai dengan keadaan masing-masing siswa. Disatu sisi, siswa yang memiliki IQ yang sangat tinggi memiliki rasa keingintahuan yang besar dan akan menyerap pelajaran lebih cepat dari teman-temannya. Ketika rasa keingintahuannya itu tidak terpenuhi, maka ia akan menjadi bosan dan frustrasi. Sedangkan disisi lain, siswa yang IQ-nya kurang akan merasa kesulitan menyerap pelajaran sehingga ia juga akan merasakan frustrasi seperti yang dirasakan anak dengan intelegensi tinggi.
Untuk menolong siswa yang berbakat, guru dapat menaikkan siswa ke kelas yang lebih tinggi hingga ia merasa menemukan kelas dengan tingkat kesulitan yang sesuai dengan intelegensinya. Atau dapat juga dengan memasukkan siswa tersebut ke lembaga pendidikan khusus untuk anak berbakat.

Namun, cara ini tidak dapat berlaku sebaliknya kepada siswa dengan intelegensi yang rendah. Guru tidak dapat menempatkan siswa dengan intelegensi rendah ke tingkat kelas yang lebih rendah. Hal ini karena akan memengaruhi tingkat kepercayaan diri siswa tersebut. Hal yang hijak dilakukan adalah dengan memasukkan siswa ke lembaga pendidikan khusus anak-anak dengan intelegensi rendah. Namun, di Indonesia sendiri lembaga seperti ini masih terbatas dikota-kota besar saja.