Adalah suatu kebahagiaan ketika bisa menangani kasus dengan baik, sesuai tujuan proses konseling. Namun, ini adalah kisah yang bukan literally konseling dimana seharusnya ada durasi yang ditentukan saat awal.
Gimana ceritanya?
Mulai dari mana ya?
Lho kok saya jadi galau.
Intinya, ketemu dengan janjian terlebih dahulu. Awal-awal ketemu cerita tentang pekerjaan masing-masing. Pastinya cerita tentang rekan kerja yang bikin kurang nyaman. Whatta...apa sih nama fenomena itu, toxic coworker apa ya
Ya Allah, bener-bener shifting banget ya....dulu paling cerita tentang guru killer atau PR yang belom selesai. Sekarang udah saatnya bahas gimana lingkungan pekerjaan masing-masing. Whatta.
Lalu, dia akhirnya menanyakan gimana kehidupan asmara. Pun aku menanyakan kembali. Respon dia malah menyuruhku untuk menebak kira-kira keadaannya saat ini gimana. Sempat aku tebak dalam keadaan putus atau hubungan tanpa status, tapi ternyata dia sedang berada fase diancam oleh pacarnya.
"Aku ingin menyudahi untuk tidak terlalu bergantung dengan dia. Tapi dia engga mudeng. Dia engga mau putus dengan alasan itu. Aku tahu dia cukup baik, dia menggantikan orang tua ku ketika sedih. Tapi aku engga mau terlalu dekat dan menggantungkan diri. Aku dah minta bantuan ke temennya untuk ngejelasin permintaanku. Dia malah mengancamku kalau sampai bener-bener putus, bakal ceritain gimana perilaku negatif ku selama pacaran. Aku bakal dicap sebagai anak nakal dan ngga membangggakan. Dia (pacar) cukup nekat banget. Udah pernah kejadian waktu itu dia ngelaporin aibku ke orang tua", ungkapnya.
Aku yang saat itu tidak berniat melakukan konseling, menyadari melakukan beberapa kesalahan. Aku secara langsung menyuruh dia untuk putus saja. Sementara, konselor sebaiknya mendengar dan hanya merespon ketika diminta memberikan saran. Konselor perlu memahami sejauh mana konseli dalam memersepsi sebuah stressor.
Dibalik enggannya putus, ada sexually & emotionally engagement. Iya, ketika seorang pacar menjadikan itu alasan untuk mengancam pasangannya mengenai fakta itu kepada orang tua pasangan. Apa sih. Ini sungguhan.
Hari bertemu saat itu pun berlalu tak cukup lama, karena sudah malam. Sebuah refleksi yang aku lempar kepadanya, ketika kamu sedang pada kondisi yang membahayakan jiwamu, siapa yang harus tahu terlebih dahulu?.
Beberapa minggu kemudian, aku bertanya kabar. Dan ternyata dia sudah cukup aman setelah bercerita kepada orang tuanya. Dia diminta puasa sosmed dan HP. Dia hanya pulang-pergi kantor saja selama sebulan penuh. Luar biasa. Dia bilang bahwa HP nya pun disita oleh orang tuanya. Orang tua melindungi dia dari pacar toxic-nya.
Pertanyaan konyolku, "Kamu berarti nggak maen instagram lagi dong?".
Gimana ceritanya?
Mulai dari mana ya?
Lho kok saya jadi galau.
Intinya, ketemu dengan janjian terlebih dahulu. Awal-awal ketemu cerita tentang pekerjaan masing-masing. Pastinya cerita tentang rekan kerja yang bikin kurang nyaman. Whatta...apa sih nama fenomena itu, toxic coworker apa ya
"Aku ingin menyudahi untuk tidak terlalu bergantung dengan dia. Tapi dia engga mudeng. Dia engga mau putus dengan alasan itu. Aku tahu dia cukup baik, dia menggantikan orang tua ku ketika sedih. Tapi aku engga mau terlalu dekat dan menggantungkan diri. Aku dah minta bantuan ke temennya untuk ngejelasin permintaanku. Dia malah mengancamku kalau sampai bener-bener putus, bakal ceritain gimana perilaku negatif ku selama pacaran. Aku bakal dicap sebagai anak nakal dan ngga membangggakan. Dia (pacar) cukup nekat banget. Udah pernah kejadian waktu itu dia ngelaporin aibku ke orang tua", ungkapnya.
Aku yang saat itu tidak berniat melakukan konseling, menyadari melakukan beberapa kesalahan. Aku secara langsung menyuruh dia untuk putus saja. Sementara, konselor sebaiknya mendengar dan hanya merespon ketika diminta memberikan saran. Konselor perlu memahami sejauh mana konseli dalam memersepsi sebuah stressor.
Dibalik enggannya putus, ada sexually & emotionally engagement. Iya, ketika seorang pacar menjadikan itu alasan untuk mengancam pasangannya mengenai fakta itu kepada orang tua pasangan. Apa sih. Ini sungguhan.
Hari bertemu saat itu pun berlalu tak cukup lama, karena sudah malam. Sebuah refleksi yang aku lempar kepadanya, ketika kamu sedang pada kondisi yang membahayakan jiwamu, siapa yang harus tahu terlebih dahulu?.
Orang tua (n) sosok yang melahirkan kita, cukup banyak jasanya hingga kita dikaruniai pikiran dan kebebasan berekespresi hingga terkadang kelewat batas pantauan.
Beberapa minggu kemudian, aku bertanya kabar. Dan ternyata dia sudah cukup aman setelah bercerita kepada orang tuanya. Dia diminta puasa sosmed dan HP. Dia hanya pulang-pergi kantor saja selama sebulan penuh. Luar biasa. Dia bilang bahwa HP nya pun disita oleh orang tuanya. Orang tua melindungi dia dari pacar toxic-nya.
Pertanyaan konyolku, "Kamu berarti nggak maen instagram lagi dong?".
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silakan bebas comment :) Promosiin blog sendiri di dalam comment lebih baik daripada nyebar Spam di dalam comment box blog orang. I really appreciate it! :D