Hai, jadi ini bukan
ngomongin tentang ketidak pastian yang berujung pertanyaan :
emangnya kamu udah tau pasanganmu. Justru, ini lebih ngomongin konsep dan pandanganku tentang menikah. Menulis ini juga menjadi
reminder buat aku supaya nikah kalau bisa menikah di usia 23-24 tahun, artinya
musti nyiapin payung sedini mungkin.
Menulis ini dengan sedikit kesadaran karena sudah seharusnya berbaring di atas kasur. Kemarin tertarik untuk menulis cerita ini mulanya kepikiran dari pemilik rumah akan menikah di tahun depan. Lalu membuatku berpikir,
bagaimana jika aku menikah di tahun 2019?
Menurutku tahun itu akan menjadi tahun mempertaruhkan
path setelah lulus. Tapi kalau udah ada jodoh yang baik bukannya tidak baik menolak ya. Tapi jujur aku sudah mendapat cerita dari temanku. Dulu aku berharap bisa diberi orang yang jujur menyatakannya ke orang tua. Tapi ternyata setelah mendengar cerita temanku, aku malah bersyukur belum ada orang yang jujur bilang ke orang tua. Momen sakral semacam itu ternyata bikin
freeze-stress temanku. Masa-masa kuliahnya tersita untuk memikirkan sosok laki-laki yang kurang jelas. Dia disukai oleh laki-laki yang tidak dikenalnya lama dan terpaut usia yang sangat jauh yaitu 10 tahun. Ternyata ada cerita yang tak beres juga sebelumnya.
Aku juga pernah mendapatkan cerita dari katingku yang akan menikah lalu ternyata tidak jadi karena calon pasangannya memutuskannya via WA di H-beberapa minggu.
Ya, makanya banyak doa. (Ibu)
Rencana mau mengambil S2 emang udah diwanti-wanti oleh Ibuku. Karena Ibuku tak ingin seperti nasibnya yang harus berhenti kuliah karena menikah. Untuk waktunya memang harus diusahakan setelah lulus kuliah. Kenapa? Karena kalau udah tau uang alias kerja biasanya nggak mau kuliah
gitu.
Sebenarnya sudah ditanya oleh Mas-ku apa
plan ku setelah lulus.
- Dek, kamu habis ini mau lanjut kuliah atau nikah langsung?
- Emang kalau aku nikah boleh ngedahului mas?
- Boleh banget. Kamu duluan aja gapapa.
Sontak aku diam. Karena menurutku aku masih belum siap untuk menikah. Ya walaupun kuliah juga gitu. Kuliah masih harus
nyiapin TOEFL/IELTS Score yang masih kurang. Sementara nikah, persiapannya jauh lebih banyak seperti memilih pasangan, pendekatan, memahami kekurangan antar pasangan, membangun visi & misi keluarga, ekonomi, rencana ke depan (tempat tinggal, pekerjaan, studi, anak, keluarga besar).
Tapi nyatanya banyak juga orang-orang yang bisa menikah dengan persiapan sedikit dan di usia yang lebih mudah daripada aku. Banyak teman-teman pondok semasa di Kediri yang sudah menikah setelah SMA.
Pilihan untuk menikah setelah SMA memang bukan pilihan yang mudah, tapi sebenarnya hanya satu kuncinya menikah yaitu
'mau belajar'.
Ada seorang kakak tingkat (kating) yang menikah saat sedang sibuk-sibuknya kuliah lalu menelan pil LDR. Dimana Sang lelaki harus melanjutkan studi S2-nya di negeri lain, sementara ia juga masih harus menyelesaikan tuntutan hidup di kampusnya.
Meski, kuliah dan menikah itu berbeda orientasinya tapi sebenarnya sama tujuannya. Tujuannya supaya mampu menjadi generasi yang sholeh-sholehah.
Mbak Nana, Najwa Shihab, pun menikah di usia 20 tahun. Aku pada usia segitu, pikiranku hanya mengatur organisasi saja.
Ada rasa kepercayaan yang harus dilekatkan saat menikah nanti. Percaya kalau pasangan kita juga mau belajar. Salah terkadang tak masalah. Menikah juga belajar tentang toleransi. Kita jelas berbeda sudut pandang penyelesaian masalahnya. Aku dipengaruhi keluarga dan pengalamanku. Kemudian, pasangan juga pun begitu. Menikah itu seperti mempertemukan hasil pola asuh dari kedua orang tua, kemudian menjadi satu formula ketika sudah memiliki anak nanti.
Menulis ini bisa menjadi
reminder kelak aku sudah menikah nanti.
Lalu pertanyaan orang-orang yang membaca ini,
wah kayaknya buru-buru nikah nih.
Nggak banget.
Enak
single ga
sih?
Plus minus ding.
Enaknya bisa punya orang yang diajak diskusi dan ngertiin masalah kita bener-bener, kemana-mana bisa ditemenin, punya
permanent support system, malam mingguan sudah nggak sendirian atau cuman di kosan aja. Eits, tapi dibalik enak juga ada nggak enaknya yaitu jadi kepikiran tanggung jawab mengatur rumah dan harus memperhatikan dari atas sampai bawah pasangan kita. Apalagi mengurus keluarga pasangan kalau misal terjadi apa-apa. Tapi sebenarnya konsepnya sama yaitu,
mau belajar.
Jadi single pun belajar, belajar sabar, ketika yang lain punya gandengan kita cuman ngelihat truk gandeng.
Banyak tuh sinetron yang hubungan dengan mertuanya gak baik-baik aja. Mertua pengennya masakin anaknya begini, sementara kita masakinnya begitu. Lalu terjadi debat. Nah, mungkin nanti perlu sabar belajar masak dengan mertua.
Begitu pun juga tentang tempat tinggal. Ada banyak orang tua di dunia ini yang memikirkan kebaikan untuk masa depannya dengan menyuruh anak untuk tinggal dekat dengan rumahnya.
Iya sih kalau emang mereka akan memahami satu sama lain. Tapi kalau enggak......
wah gawat juga tuh. Tapi
Apalagi kejadian tinggal di rumah orang tua. Sepertinya membuatku dan pasangan menjadi tidak bebas.
Well, kalau pun nanti aku tinggal sama salah satu keluarga.....pasti akan tersita pikiranku untuk menyesuaikan satu sama lain. Masih belum tau juga
sih. Kuncinya satu, mau belajar.
Nah, sekarang berlanjut ngomongin tentang
wedding party. Pengen yang sederhana aja. Nyewa gedung kalau bisa, biar nggak mengganggu lalu lintas
hehehe. Nggak semua aku kasih undangan yang
harus hadir banget gitu. Karena belajar dari ibuku yang bilang, 'kalau kita ngundang orang yang jauh hingga membuat mereka ngga bisa datang..itu bisa bikin mereka sedih. Ya cukup bikin tulisan, "mohon doa restu".
Anyway, aku terinspirasi saat nikah nanti membagikan buku seperti Mas Gun & Mbak Apik. Tapi itu kan cerita tentang menjaga cinta antara keduanya ya. Aku mau cerita dalam buku itu adalah cerita kehidupan sehari-hari sebagai siswa/mahasiswa pada umumnya, yang isinya lucu-lucu aja. Bukunya online juga gapapa.
Heheh karena aku lucu.
Aku gak paham lagi kenapa aku lagi ada masalah malah aku punya ide menulis seperti ini. Ini bukan khayalan kan? 2019 itu sebentar lagi. 2020 pun juga sebentar lagi. Artinya, mulai dari sekarang semua hal harus disiapin. Terutama menyiapkan
edukasi, psikis dan ekonomi. Satu lagi, doa yang tak terputus.