Hari itu sangat baik karena di PKBI sedang ada pelatihan psychological first aids (PFA) bagi para relawan dari Universitas Negeri Semarang.
Awalnya aku kira PFA akan fokus bagaimana kita bisa membantu korban bencana alam seperti materi pelatihan waktu kuliah dulu. Ternyata sama sekali nggak. Pelatihan kali itu berfokus menyiapkan kita untuk membantu teman kita yang mengalami masalah secara psikologis.
Uniknya, dalam slide materi disebutkan bahwa ada beberapa manusia yang rentan membutuhkan pertolongan secara psikologis yaitu anak broken home.
Mengutip dari pijarpsikologi.org, keluarga secara umum dibagi menjadi dua, yaitu keluarga yang utuh dan tidak utuh (broken). Kemudian, keluarga “broken” bukan hanya keluarga yang kedua orangtuanya bercerai, tetapi keluarga yang tidak memiliki kemampuan untuk memenuhi kebutuhan fisik, ekonomi, psikologis, dan sosial.
Kebutuhan utama anak adalah kasih sayang. Tanda utamanya adalah adanya kepercayaan. Hal ini sesuai dengan tahap perkembangan Erikson dimana pada usia 0-2 tahun anak mengalami fase trust vs mistrust. Apa dampaknya? Banyak, terutama dari segi kecerdasan interpersonal, dimana anak kurang dapat menyesuaikan diri dengan lingkungannya karena kurang adanya komunikasi yang baik dengan orang tua, timbulnya self esteem rendah, serta susah menentukan sebuah pilihan.
Menarik juga cerita yang pernah aku dengarkan dari salah seorang guru saat siaran radio PILAR. Ia menceritakan bahwa dulu memiliki masa lalu yang kelam, dimana orang tua cerai dan terpaksa dirawat oleh kakak nenek yang saat itu dikiranya adalah orang tua kandung. Beruntung beliau mengaku bahwa ia berada dalam rumah yang bagus dan mendukungnya untuk menjadi manusia utuh meski tanpa orang tua asli. Dalam kesimpulannya ia menyebutkan bahwa "Tidak semua anak broken home akan menjadi nakal, semua tergantung bagaimana lingkungannya membentuk dan menerima kekurangannya. Wadah ya tepat akan bisa membuatnya berkembang".
Well, sebenernya apa aja sih sekiranya yang akan jadi dampak?
Rusaknya Perkembangan Otak
Berdasarkan The National Center for Post Traumatic Stress Disorder (PTSD), traumatic stress berhubungan dengan perubahan di area kunci ota dan dapat meningkatkan kortisol dan norephinephrine yang selanjutnya menjadi stressor.
"Banyak hal yang dapat mempengaruhi perubahan bagi anak" kata Trauma Specialist Ginger Poag, M.SW, LSW, CEMDR. "Otak berdamnpak parah; tubuh menjadi dipenuhi oleh hormon stres seperti adrenalin dan kortisol. Ketika hormon stres lepas, maka kita bisa melihat perkembangan otak terganggu dan adanya kerusakan secara neurologis.
Membangun bahtera rumah tangga memang tidak semudah membalikkan telapak tangan. Sejatinya, tidak ada pasangan yang ingin menikah lalu berpisah. Perpisahan tidak hanya menyakitkan, tapi juga mengorbankan kebahagiaan anak-anak.
Perasaan Galau Bikin Prestasi Menurun
Hal ini terjadi karena anak kurang konsentrasi dan merasa sedih yang cukup berlarut. Baru-baru ini aja tahu ada salah satu teman sekolahku yang menjadi anak broken home, kebetulan lagi trend di twitter tentang Main Events in the 10s
10 ayah hampir amputasi
11 ortu hampir putus
12 graduate
13 main-main di SMA
14 main-main di SMA
15 Orang tua cerai. Nyoba kuliah di PTN, eh lolosnya lewat jalur mandiri
16 Struggling kuliah
17 Ngerasain IPK bagus
18 Skripsian
19 kerja di tempat keren
Ya udah jarang ngobrol sih sama dia. Dulu pernah main ke rumahnya dan terlihat baik-baik saja. Dibandingkan dengan temanku yang memiliki orang tua harmonis, dia memang jarang pulang kampung. Aku kira karena memang nyaman di tempat rantau. Memang huru hara rumah tangga tidak ada yang tahu, pun termasuk anak. Orang tua memiliki masalah yang bagi mereka sulit ditemukan uraian solusi selain putus.
Jadi inget juga habis nonton film Marriage Story di Netflix, dimana pertikaian pasangan udah kayak debat capres-cawapres a.k.a tidak ada putusnya sama sekali. Mereka berdua mengusahakan untuk tidak melalui persidangan, jadi lewat mediator maupun terapis. Namun, di tengah usaha itu ada-ada aja kejadian perselingkuhan yang bikin Sang Istri. Sebenarnya ada scene dimana rata-rata para penonton mungkin berharap keduanya balikan, yakni ketika membaca catatan kelebihan/apa yang disuka dari Sang Mantan Suami. Catatan ini dibuat saat menemui mediator di awal-awal film ini. Saat itu Sang Istri enggan membacakan isinya, padahal cukup jelas di bagian akhir catatan I will always love you, meski tidak rasional. Film ini menggambarkan proses perceraian yang ngga cepat alias berdrama sekali. Plus, usahakan sudah selesai dengan ego passion, keduanya sama-sama seniman, satunya sutradara dan satunya lagi aktrisnya. Ohya, perdebatan domisili juga jadi masalah, dimana Sang Istri keukeuh pengen di LA, sementara Sang Suami ingin di New York saja.
Think twice! Jangan sampai nikah dengan stranger. Kita harus kenal kekurangan dan kelebihan, mengukur sudah sedewasa apa pasangan kita, sudah selesai dengan passion yang dikejarnya apa belum, lalu domisili dimana temukan jalan tengah. Jika LA enggan, New York juga enggan, pilih saja tengahnya yaitu Broadway. Hahahah. Jika Malang enggan, Sidoarjo juga enggan, pilih saja Pasuruan.
(bersambung)
Hal ini terjadi karena anak kurang konsentrasi dan merasa sedih yang cukup berlarut. Baru-baru ini aja tahu ada salah satu teman sekolahku yang menjadi anak broken home, kebetulan lagi trend di twitter tentang Main Events in the 10s
10 ayah hampir amputasi
11 ortu hampir putus
12 graduate
13 main-main di SMA
14 main-main di SMA
15 Orang tua cerai. Nyoba kuliah di PTN, eh lolosnya lewat jalur mandiri
16 Struggling kuliah
17 Ngerasain IPK bagus
18 Skripsian
19 kerja di tempat keren
Ya udah jarang ngobrol sih sama dia. Dulu pernah main ke rumahnya dan terlihat baik-baik saja. Dibandingkan dengan temanku yang memiliki orang tua harmonis, dia memang jarang pulang kampung. Aku kira karena memang nyaman di tempat rantau. Memang huru hara rumah tangga tidak ada yang tahu, pun termasuk anak. Orang tua memiliki masalah yang bagi mereka sulit ditemukan uraian solusi selain putus.
Jadi inget juga habis nonton film Marriage Story di Netflix, dimana pertikaian pasangan udah kayak debat capres-cawapres a.k.a tidak ada putusnya sama sekali. Mereka berdua mengusahakan untuk tidak melalui persidangan, jadi lewat mediator maupun terapis. Namun, di tengah usaha itu ada-ada aja kejadian perselingkuhan yang bikin Sang Istri. Sebenarnya ada scene dimana rata-rata para penonton mungkin berharap keduanya balikan, yakni ketika membaca catatan kelebihan/apa yang disuka dari Sang Mantan Suami. Catatan ini dibuat saat menemui mediator di awal-awal film ini. Saat itu Sang Istri enggan membacakan isinya, padahal cukup jelas di bagian akhir catatan I will always love you, meski tidak rasional. Film ini menggambarkan proses perceraian yang ngga cepat alias berdrama sekali. Plus, usahakan sudah selesai dengan ego passion, keduanya sama-sama seniman, satunya sutradara dan satunya lagi aktrisnya. Ohya, perdebatan domisili juga jadi masalah, dimana Sang Istri keukeuh pengen di LA, sementara Sang Suami ingin di New York saja.
Think twice! Jangan sampai nikah dengan stranger. Kita harus kenal kekurangan dan kelebihan, mengukur sudah sedewasa apa pasangan kita, sudah selesai dengan passion yang dikejarnya apa belum, lalu domisili dimana temukan jalan tengah. Jika LA enggan, New York juga enggan, pilih saja tengahnya yaitu Broadway. Hahahah. Jika Malang enggan, Sidoarjo juga enggan, pilih saja Pasuruan.
(bersambung)
Referensi: